
Oleh: Raja Parlindungan Pane *)
“Apa Nurdin Halid boleh dicalonkan atau mencalonkan diri lagi menjadi Ketua Umum PSSI?” tanya Djoko.
“No,” jawab Sepp.
Percakapan yang lebih mirip adegan drama itu, terjadi antara Duta Besar RI untuk Swiss Djoko Susilo dan Presiden Federation of International Football Association (FIFA) Joseph “Sepp” Blater di markas FIFA di Zurich, Swiss, Selasa (8/3).
Djoko yang sudah tidak “joko” lagi itu memang patut bertanya. Sebab, sikap ngotot Nurdin Halid, incumbent Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dua periode (2003-2007 dan 2007-2011), untuk dicalonkan atau mencalonkan diri lagi memunculkan kontroversi dan resistensi. Aksi demonstrasi anti-Nurdin merebak di mana-mana. Kini lahirlah Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KKPN) yang mengklaim beranggotakan 87 dari 100 pemilik suara Kongres PSSI. KPPN pun akan menggelar kongres tandingan.
Djoko memang patut bertanya. Sebab, seorang mantan narapidana oleh Statuta FIFA dilarang memimpin lembaga sepakbola, termasuk PSSI. Dan Nurdin Halid adalah seorang mantan narapidana. Pada 13 September 2007, ia dihukum dua tahun penjara oleh putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No. 1384/K/Pid/2007.
Bahwa Nurdin tetap bisa duduk di singgasana Ketua Umum PSSI, diduga hal itu terjadi lantaran ada pemelintiran pasal dalam Statuta FIFA ke dalam Pedoman Dasar PSSI. Sebagai contoh, Pasal 32 ayat (4) Statuta FIFA tentang Syarat Anggota Komite Eksekutif yang berbunyi: “They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offence.” Dalam bahasa Indonesia, ayat ini berbunyi: “Mereka telah aktif dalam sepakbola dan tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana.”
Dalam pedoman yang diratifikasi PSSI (Pasal 35 ayat 4), dua syarat dasar ini kemudian menjadi: “Telah aktif dalam kegiatan sepakbola sekurang-kurangnya lima tahun.” Lebih tragis lagi, pasal ini masih ditambah dengan “di lingkungan PSSI” yang kemudian menjadi alat Pengurus PSSI untuk menggugurkan pencalonan kandidat lain selain Nurdin Halid. Makna “tidak pernah dinyatakan bersalah sebelumnya dalam tindak pidana” juga dipelintir menjadi “tidak pernah dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres.”
Di sisi lain, juga ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, khususnya Pasal 123 ayat (2) yang menyatakan, “Dalam hal ketua umum induk organisasi cabang olahraga atau induk organisasi olahraga fungsional berhalangan tetap dan/atau menjalani pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ketua umum induk organisasi wajib diganti.”
Maka, Djoko pun bertanya kepada Sepp tentang bolehkah Nurdin Halid yang berstatus mantan narapidana itu mencalonkan diri lagi, lalu dijawab “no” oleh Sepp dengan begitu tegasnya. Terlepas dari apakah Nurdin dan pengurus PSSI lainnya percaya atau tidak pada keterangan Djoko, itu urusan mereka. Yang jelas, Statuta FIFA pun melarang seorang mantan narapidana memimpin lembaga sepakbola.
Kini, setelah Sepp bilang “no”, keputusan selanjutnya ada di tangan Nurdin. Apakah tetap maju sebagai calon Ketua Umum PSSI 2011-2015 ataukah tidak jadi maju untuk memberikan kesempatan bagi yang lain. Jika tidak jadi maju, sejarah akan mencatat bahwa Nurdin adalah seorang negarawan sejati.
Kalau selama ini ada kesan pengurus PSSI mendewa-dewakan FIFA, bahkan ada kecenderungan PSSI menjadi ‘negara di dalam negara’ atau bagai hidup di menara gading atau etalase yang terpisah dari masyarakat Indonesia, kini setelah diketahui bahwa ada semacam pemelintiran terhadap Statuta FIFA dan secara tegas Sepp pun sudah bilang “no”, bagaimana dengan sikap Nurdin dan para punggawanya di PSSI?
Sekali lagi, semua itu kita serahkan pada kearifan Nurdin dan para punggawanya. Bisa jadi Nurdin sudah tidak berminat lagi menjadi Ketua Umum PSSI mengingat ia sudah lelah karena sudah dua periode memimpin organisasi sepakbola tertinggi di Tanah Air ini. Tetapi kalau para punggawanya tetap mendorong, bisa jadi Nurdin akan tetap ngotot. Maka, kemelut PSSI pun tak akan kunjung berakhir. Prestasi sepakbola Indonesia pun akan terus terpuruk.
Ada baiknya pula kita renungkan apa yang disampaikan anggota Komisi X DPR RI Angelina Sondakh dalam rapat dengar pendapat umum dengan PSSI, 1 Maret lalu. Katanya, “Saya sangat sayang dengan Pak Nurdin. Saya tidak mau Pak Nurdin dilecehkan orang lain. Setiap hari ada demo, foto Bapak diinjak-injak. Mungkin sudah waktunya Pak Nurdin mundur. Toh sudah disediakan panggung terhormat, sehingga kalau mundur pun masih diberi tepuk tangan…” —- (rakyatmerdekaonline)
*) Penulis adalah Ketua Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) Pusat.
Leave a Reply